View Single Post
Old 3 January 2012, 08:26 AM   #2
Chaedar-R
Junior Member
 
Bergabung: Jan 2012
Posts: 5
Chaedar-R is on a distinguished road
Default

Tatapan itu membuatku membeku dan degupan jantungku terdengar keras sekarang.
Tak tahu mengapa, ternyata ia tak melihatku di balik pintu cokelat, pintu kamar mandi lantai satu ini. Ia melanjutkan langkahnya menuju lantai dua, dengan berpegangan erat pada birai tangga itu.
Aku mencoba untuk menyadarkan diri, berusaha menormalkan kembali nafasku yang terasa pendek ini. Dengan keberanian yang tak kunjung datang, aku melangkah pelan, menuju tangga itu dan menaiki setiap anak tangganya dengan sangat hati-hati. Pandanganku selalu tertuju ke atas. Menimbang-nimbang, apakah ia akan membuat kejutan, saat aku sampai di ujung sana.
Suara adu mulut terdengar di ujung tangga teratas. Samar-samar, suara itu membahas tentang adikku. Aku tak tahu pasti, tetapi itu seperti suara ayah dan ibu. Apa yang sedang terjadi?
Tanpa berpikir terlalu lama, aku langsung berlari, menuju sumber suara itu. Tak kusangka, suaranya berasal dari kamarku. Pintu kayu hitam itu tertutup rapat. Aku hanya mencoba untuk mendengarkan semuanya dari balik pintu ini. Rasa takut mulai menjalari tubuhku. Entah mengapa.
“Sialaaaan!!!!” tiba-tiba ibu berteriak dan suaranya berubah menjadi parau. Seperti menahan sesuatu.
“Kau gilaaa!!!!” suara ayah terdengar sangat marah dan ia memaki seseorang. Namun suaranya hilang begitu saja, tertahan di kerongkongan dan terdengar sangat parau.
Hanya suara petir dan deru hujan di luar rumah yang kudengar sekarang. Semuanya terasa berjalan lambat. Setiap detik berlalu sangat lama, mungkin terlalu lama. Aku hanya memandang jendela di dinding seberang, yang tirainya terus-menerus membuka karena angin malam yang terasa kencang.
Dengan helaan nafas, kucoba untuk mengumpulkan seluruh keberanianku, dan membuka pintu kamar ini dengan cepat. Rasanya benar-benar aneh. Semuanya terasa diam dan sangat sepi. Pandanganku tertuju pada tergeletaknya kedua orang tuaku, dan seorang pria berpakaian jas hujan yang wajahnya bisa dengan jelas kukenali sekarang.
Ayah dan ibuku tergeletak di lantai, dengan sisa nafasnya. Mereka menahan rasa sakit yang tak bisa kurasakan saat ini. Cairan merah kental keluar dari perut mereka, dan membasahi lantai berwarna putih itu.
Wajah paman terlihat dingin, dan ia hanya melirikku tajam. Ia berlari melewatiku. Aku hanya melihat kedua orang yang kusayangi, tergeletak dengan darah yang keluar dari tubuh mereka. Aku melangkah pelan dan berlutut di samping mereka.
Tubuhku terasa sangat lemas, dan aku terjatuh di samping tangan ibuku yang menempel di lantai. Pandanganku sangat samar. Kuraih tangan lembut itu dan menciumnya dengan sedih. Aku tak mengerti, semuanya berjalan sangat cepat sekarang, dan pandanganku tertuju pada jendela kamar yang menampakkan cahaya terang matahari. Itu membuatku sedikit menyipitkan mata, saat cahayanya menembus kaca berbingkai kayu hitam yang tirainya tersingkap.
“Rizky!!”
Seseorang berdiri di depan pintu kamar, sambil memandangiku. Paman? Aku memandangnya dengan pandangan buram, yang tak lama kemudian terlihat pulih dan semakin jelas. Ia tersenyum ramah kepadaku. Senyuman itu sangat ramah, hampir membuatku merasa iba kepadanya.
“Kau tidur di lantai?”
Aku hanya diam, mencoba untuk bangkit dari tidurku. Aku merangkak, lalu duduk bersila, sambil menyandarkan diri di dinding yang terasa dingin ini. Sebuah kalimat tak bisa terluncur dari mulutku.
“Sampai kapan kau membolos sekolah?”
“Sampai aku tahu siapa pembunuh kedua orang tuaku!”
Ia hanya menarik nafas, dan tersenyum ramah. Tetapi, senyuman itu terlihat sinis dan seperti sang pembunuh. Pembunuh berdarah dingin. Aku harus selalu waspada dengan guratan-guratan wajah itu. Semuanya nampak kedok.
“Baiklah, kutunggu kau di ruang makan. Aku telah menyiapkan makanan kesukaanmu.” Ia berbalik dan berlalu begitu saja.
Aku harus lebih berhati-hati akan semua rencananya padaku. Tanpa pikir panjang lagi, aku beranjak dari dudukku, lalu berjalan dengan pelan menuju ke lantai bawah untuk menemui paman di ruang makan.
Ia terlihat sedang menata dua mangkuk putih yang ia letakkan secara berseberangan. Lalu, ia menuangkan sup beraroma menyenangkan yang masih mengepulkan asap. Bau itu sangat lezat. Tetap dengan rasa hati-hati, aku melangkah pelan menuju kursi meja makan itu.
“Silahkan duduk, Rizky.”
Aku duduk di kursi empuk ini, dan memandangnya dengan hati-hati. Apakah ia akan meracuniku karena aku sudah merasa curiga akan sikapnya selama ini?
“Silahkan makan.” Katanya, sambil ia sendiri duduk di kursi yang berada di sisi seberang meja makan berbentuk persegi ini.
“Kenapa hari ini kau terlalu baik padaku?”
“Maksudmu?” ia terlihat sangat bingung, dan ekspresi itu sangat menipu.
“Tak biasanya kau menyiapkan makanan untukku.” Kubuat suaraku menjadi sinis.
“Apa yang kau ucapakan? Aku sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik. Aku rela mengambil jam tidurku untuk menyiapkan segalanya. Mengapa kau berkata aneh kali ini?” nadanya sangat marah dan suasana hatinya berubah total.
Aku tetap berjaga-jaga dengan sikapnya yang mungkin akan meledak, dan menusukku dengan pisau buah yang terletak di tengah-tengah meja makan itu. Tatapannya membuatku muak, dan itu semua mulai terlihat normal. Tatapan sang pembunuh yang sudah satu bulan menyembunyikan identitasnya.
“Baiklah, jangan membuat suasana pagi ini menjadi buruk dengan ucapanmu. Silahkan makan sup itu, dan aku akan berangkat ke kantor setelah ini.” Ia terlihat mengendalikan diri.
“Aku tak mau menyantap makanan yang kau buat ini!”
“Kau harus makan!!” ia mulai marah dan menatapku dengan geram.
“Tidak!! Sebelum kau mau mengaku, siapa pembunuh kedua orang tuaku!”
Ia hanya diam dan pandangannya sangat menakutkan kali ini. Ia beranjak dari kursinya, sambil mendorong kursi itu ke belakang dengan keras. Wajahnya mendekati wajahku, dan ia menatap mataku dengan kejam. Tangan kanannya menggenggam erat rahang bawahku, seraya ia berkata, “Kau jangan membuat onar!!”
Aku berusaha memberanikan diri untuk melihat mata hitam yang menakutkan itu. Semua rasa beraniku sudah kukumpulkan. Tetapi, rasanya aku sedikit tak sanggup untuk terus menatap mata kusam itu.
Tiba-tiba saja ia berubah total dan menyesal. Ia melepaskan genggaman tangannya dari rahangku, dan berkata, “Maaf.”
Aku berdiri dari dudukku dan melangkah sedikit mundur. Tatapanku tetap terfokuskan padanya. Aku tak akan melewatkan sedetikpun untuk memandang gerak-geriknya yang mungkin akan mengagetkan.
“Maafkan aku. Aku terlalu lelah dengan pekerjaan di kantor.”
Ia membalikkan tubuh, melangkah ke arah jendela, dan memandangi suasana jalan diluar yang terlihat terang. Bangunan-bangunan di sana seperti memandang dan menjadi saksi bisu antara percakapan kami berdua.
Lalu ia hanya diam, dan diam. Diam itu terasa lama dan tidak menyenangkan. Ia mencoba untuk membuka jendela itu, dan menghela nafas panjang. Pandangannya sekarang seperti tertuju ke arah langit, dan ia mulai berbicara pelan.
“Pembunuh itu gila.”
Aku tetap berdiri dan diam, di samping kursi makan itu. Kucoba untuk mendengarkan ucapan-ucapan yang terdengar seperti alasan tak bermutu. Sekarang, pisau buah itu harus kuamankan. Kuraih pisaunya, lalu menyembunyikannya di balik tubuhku. Aku harus berhati-hati.
“Sekarang, aku ingin bisa hidup tenang. Tenang dari bayangan pembunuh yang ada di dalam pikiranku.”
Dengan cepat aku berlari ke arahnya, lalu menusuk paman saat ia membalikkan tubuhnya ke belakang. Astaga, apa yang aku lakukan? Cairan merah kental keluar dari sela-sela pisau itu. Aku bergidik dan bayangan-bayangan mulai bermunculan di dalam kepalaku.
“Kau anak durhaka!!! Kenapa kau membunuh adikmu!!!” itu terdengar seperti suara perempuan.
“Dia telah menghancurkan proyek kerjaku!!”
“Sialaaaan!!!!” ibu berteriak dan suaranya terdengar parau.
“Kau gilaaa!!!!” ayah sangat marah dan sebuah pisau telah tertancap di tubuh mereka.
Darah mengalir deras dari perut mereka. Jantungku berdegup hebat. Aku tak menyadari betapa berdosanya diriku selama ini. Kupandangi sang pembunuh dari pantulan cermin itu.
Chaedar-R is offline  
Reply With Quote