View Single Post
Old 2 May 2011, 11:37 PM   #2
Q_aini
Junior Member
 
Bergabung: May 2011
Location: Bandung
Posts: 4
Q_aini is on a distinguished road
Wink cerpen (sahabat selamanya)

Setelah mendengar cerita Gesty, aku langsung mengayuh sepedaku dengan cepat meninggalkan mereka yang masih terdiam, aku yakin mereka pun akan mengerti dan memalumi sikap aku ini.
Cepat, cepat, dan lebih cepat lagi. Aku benar-benar ingin segera sampai ke rumah Sintia. Segala perasaan berkecamuk dalam hati dan pikiran. Sedih, menyesal, kesal.
Menyesal karena aku meninggalkan sahabat terbaikku dan tak ada disampingnya saat hari terakhirnya tiba. Kesal, karena tak ada satupun yang memberi tahukan kepadaku.
Baiklah, aku mengerti dan aku hargai pengertian mereka terhadapku, karena Sintia meninggal saat aku sedang melaksanakan ujian, dan mereka takut jika aku tak bisa berkonsentrasi. Memang benar, tapi cara mereka salah. Sintia sudah ku anggap saudara perempuanku, jadi bagaimanapun keadaanku baiknya mereka tetap memberitahukannya.
Tak terasa, butiran yang sedari tadi melapisi bola mataku, kini terjatuh juga. Tapi aku masih merasa ini adalah bagian dari mimpi burukku, tak percaya jika sahabatku itu sudah tidak ada, ingin rasanya aku cepat terbangun tapi ini bukan mimpi, ini nyata dan tak mungkin Gesty berbohong.
Kini terjawab sudah,mengapa Sintia tak menjawab sms dariku, dan tak berkunjung ke rumah seperti biasanya.
Hanya senyum simpul yang dapat ku persembahkan padamu, tak ada barang mewah yang dapat kau jadikan pengingat akan diriku. Hanyalah kisah, yang dapat mengingatkan kebersamaan kita. Kita yang selalu bersama, mencoba mengukir kisah indah, sayang itu tak banyak.
Maka maafkanlah daku, jika hanya kisah pahit yang dapat kau jadikan pengingat akan daku, bukan kisah indah yang terukir istimewa dihatimu…” Tiba-tiba aku teringat kembali SMS terakhirnya itu. “Tidak. Kamu salah. Bahkan terlalu banyak kisah indah yang kau berikan padaku. Tak ada kisah pahit yang membekas dihatiku karena mu. Karena kau memang sahabat terbaikku, selamanya. Takan pernah terlupa dan terganti.” ungkapku dalam hati. Sesalku kian bertambah, karena ketika itu aku tidak membalas kata maafnya tersebut.
Akhirnya aku samapi juga ke rumah sederhana Sintia yang terlihat sepi. Aku mengetuk pintu dengan pelan dan menghapus air mataku. Terdengar dari dalam sana, langkah kaki dan suara batuk yang berat. Krek… hendel pintu diputar, terlihat seorang wanita tua yang kurus dan pucat membuka pintu. “Ibu..” ucapku yang lebih mengarah pada diri sendiri. Aku segera mengambil tangannya lalu salam kepadanya. Tapi wanita itu, yang tak lain merupaka Ibunda Sintia menarik badanku, dan merangkul aku dengan erat. Terdengar beliau menangis. Aku yang sedari tadi berdiri dengan menahan air mataku karena tidak ingin menambah kesedihan kini lagi-lagi terjatuh, tak bisa ku tahan lagi. “Maafkan Siska, bu…” ucapku dalam pelukkannya.
Beliau melepaskan pelukannya dan memandangku dengan tatapan yang dalam oleh kedua mata sayu dan sembabnya, lalu menarik tanganku untuk segera masuk. Aku duduk dikursi rotan tua yang terletak disamping Ibu.
“Ibu yang sabar. Maafkan Siska karena tidak ada disini ketika Sintia pergi. Maaf bu.. Siska baru mendengar kabar ini.” Jelasku lemas tanpa ekspresi yang tetap menahan tangis.
Ibu menggeleng dan tersenyum padaku, namun senyum ini tak seindah dan seberseri dulu, walaupun masih terlihat lesung pipi dikedua pipinya. “Kamu tidak perlu meminta maaf, nak. Ibu tahu semuanya dari Sintia, dan Sintia juga yang meminta agar tak menghubungimu ketika dia sakit, karena kamu sedang ujian.” Aku tertegun mendengar itu.
Bukankah dulu ia yang meminta agar aku bisa ada disampingnya jika ia sakit, bahkan jika ia akan pergi selamanya? tapi sekarang dia melarang semua orang untuk memberitahukanku, hanya karena aku sedang ujian. Yaa masih teringat betul kisah itu olehku. Kenapa sintia, kenapa? Desak batinku yang penuh tanya, walaupun aku mengerti maksud dan keinginannya.

Tutur ibu, Sintia meninggal karena penyakit kanker hati yang dideritanya sejak SMP.
Lagi-lagi, kenapa aku tidak pernah tahu tentang itu? Kenapa ia tidak pernah menceritakannya? Dan tutur ibu pula, Sintia tidak pernah mengeluh akan sakitnya itu, menurutnya dia tak ingin lemah dan kalah hanya dengan penyakit. Ya, Sintia yang lembut tapi tak pernah ingin menyecewakan dan membuat khawatir orang lain, pekerja keras, pantang menyerah, dan ulet. Aku belajar banyak darinya.
Setelah ibu menceritakan semua. Aku meminta izin untuk masuk ke kamar Sintia, sekedar melepas semua rindu, meski takan dapat terobati.
Baru setengah aku membuka pintu, aroma parfum kamarnya masih tercium kental. “Aku rindu bau ini, dan aku sangat merindukanmu, Sintia.” Ucapku dalam batin yang masih saja bergeming pada kerinduan yang dalam.
Aku duduk dipinggir kasurnya yang rapi dengan berbalut seprai berwarna biru langit –warna kesukaannya- Disinilah, tempat kami berbagi canda tawa, disinilah kami saling menceritakan hal-hal pribadi dan menarik. Sekilas aku merasa Sintia masih ada diruangan ini, masih dengan senyum manis dan tawa bahagianya. Tak ada kesedihan dan tak ada kesakitan. Aku merindukan tawa itu, teramat sangat merindukan.
Buku kecil bersampul coklat dengan cover yang timbul terlihat tergeletak dimeja belajarnya. Aku coba membuka buku itu, didalamnya terdapat sebuah kertas yang dilipat dan terselip di halaman pertama. Tertulis “Untuk Sobat tersayangku, Siska” Lantas aku segera membacanya dengan beribu tanya dan rasa tak sabar.

Hai Siska apa kabar?
Siska, apakah hari ini, ketika kau membaca surat ku, aku masih berada dengan mu? Masih bisa melihat senyum indahmu? Masih bisa tertawa dan berbagi bersamamu? Sobat, aku sangat merindukanmu…
Sobat, apakah hari ini, ketika kau baca surat ini, kau tahu tentang ku? Tentang parasit yang menempel dalam diriku dan akan pergi membawa aku suatu hari nanti? Jika “ya”, maafkan aku, karena aku tak pernah mengatakan ini padamu. Aku rasa, cukuplah hanya aku yang merasakan sakit dan tekanan ini, tidak untuk orang-orang yang menyayangiku. Dan aku pun tak ingin berlindung didalam kesakitanku, karena mendapat belas kasihan orang karena umbaran parasitku. Sobat, aku harap kau mengerti.
Sobat, masihkah kau ingat tentang janji kita? Untuk selalu bersama dalam suka dan duka? Takkan pernah melupakan dan terlupakan, meski ruang dan waktu tak lagi berpihak.
Sobta aku mohon, berjanjilah tuk terakhir kalinya padaku. Agar kau, saat ku telah tiada, bisa menjaga ibuku tersayang, agaplah ia ibumu sendiri, dan aku mohon sobat, janganlah aku teteskan sedikitpun air matamu karena kepergianku.
Aku merindukanmu…
Maafkan semua salahku selama ini padamu. Terimakasih banyak atas semua kenangan indah yang kau berikan. Aku menyayangimu selamanya…
Love Sintia


Hampir kertas surat itu basah dengan air mataku, maafkan aku Sintia, aku tidak bisa menepati janji yang kau pinta agar tidak menangis. Aku takan bisa…
Tapi aku pasti bisa menjaga kepercayaanmu untuk menjaga ibumu, aku akan menyayanginya dan menjaganya, seperti yang ia lakukan dulu terhadapku.
Maafkan aku karena aku tak ada didekatmu ketika hari itu datang, seperti janji kita dulu. Aku tak bisa memberi kenangan terindah untukmu, maafkan aku.
Aku pun sangat merindukanmu. Dan kini, aku mengerti akan semua sikapmu.
Kau telah memberikankku banyak pelajaran terhadapku, untuk selalu tabah dalam menjalani hidup. Terimakasih kembali, sobat. Aku pun takan pernah melupakan dirimu.
Selamat tinggal….
Aku menyayangimu selamanya…..








#terimakasih bagi yang telah membaca
ditunggu komentar dan masukkannya
Q_aini is offline  
Reply With Quote