View Single Post
Old 3 July 2013, 06:19 PM   #1
I am ME
Senior Member
 
I am ME's Avatar
 
Bergabung: Jan 2011
Location: The World of ME
Posts: 2,955
I am ME is on a distinguished road
Default Pecinta Senja, Maukah Ku Ceritakan Kau Sebuah Kisah Cinta?

Jangan salah paham melihat ada nama Senja di judul thread ini.
Ini adalah jawabanku atas tulisan Senja ini:
http://sekolah.org/showthread.php?t=7810
Maka, aku ingin share sebuah kisah cinta.
Kisah cinta yang diangkat dari kisah nyata.
Silahkan disimak....

Kisah ini sudah tertinggal dua puluh tahun lebih, maka ibarat seseorang yang ketinggalan kereta, bukan cuma kilau lampu dan getar rel yg telah hilang di tikungan sana, bahkan gerbongnya sj sudah karatan dan dipensiunkan, lokomotifnya mungkin masih beroperasi, tapi sudah tersengal karena tua. Cerita ini sudah menguap dua puluh tahun lebih, maka ibarat embun menggelayut malas di dedaunan, jangan-jangan rerumputan itu sudah menjadi hutan, tidak tersisa lagi kenangannya. Tapi tak mengapa, boleh jadi cerita ini bermanfaat. Toh, kalian biasanya suka dgn kisah cinta klasik seperti ini. Yang walaupun saking klasiknya, berkali-kali terjadi di sekitar kita.

Kisah ini dari mbak kita, panggil saja namanya Hesty, 48 tahun, tinggal di Menteng, salah satu kawasan elit di Jakarta--klasik kan. Dia 8 tahun terakhir, selalu menangis dalam diam saat mendengar lagu "Selamat Jalan"-Rita Effendy, apalagi ketika malam tiba, Jakarta dikepung rinai gerimis, berdiri di teras, menatap kilat cahaya lampu, semua kenangan itu kembali. Apa coba salah itu lagu? Apa coba dosa Rite Effendy, sampai lagunya dijadikan 'lagu nasional' kesedihan dari Mbak Hesty, tidak panjang kata lagi, baiklah, berikut kisahnya.

Hesty dan Tigor lahir di hari yg sama, tahun 1960, masa-masa Soekarno dan bangsa ini ribut tentang jargon nasakom. Mereka lahir nyaris di waktu yg juga hampir bersamaan; bedanya, Hesty dilahirkan di RS Cipto dibantu dokter-dokter yg hebat, sementara Tigor dilahirkan di kampung dibantu dukun beranak sekitaran Cikini.

Mereka juga tinggal satu rumah, satu atap. Bedanya, Hesty tinggal di lantai dua dengan kamar besar, bertirai sutera, berlantai parquet jati. Sedangkan Tigor tinggal di sudut paling pojok rumah itu di kamar sempit, sekamar dengan Emak dan Bapaknya. Mereka tumbuh bersama, bersisian, dan berbagi banyak hal yg sama. Bedanya Hesty adalah anak ke-5 dari 5 bersaudara keluarga pejabat pemerintah pemilik rumah besar dibilangan Menteng tersebut; sementara Tigor anak pertama dan satu-satunya dari Bibi (tukang cuci) dan Mamang (tukan kebun) rumah tersebut.

Klasik sekali, bukan?

Sejak kecil mereka dekat. Tidak ada yg tahu kenapa mereka begitu kompak, begitu melengkapi dan boleh jadi terlihat cocok satu sama lain. Di mana ada Tigor, maka Hesty, gadis kecil dgn rambut ikal, mata hitam bundar, dan wajah menggemaskan itu selalu ada. Dan sebaliknya, di mana ada Hesty, maka Tigor, bocah kecil dgn rambut berantakan, kulit rada-rada hitam, dan wajah selalu tertawa itu selalu ada. Namanya juga anak-anak. Belum ada yg keberatan dgn fakta kedekatan mereka. Papa Hesty memang sering marah-marah setiap kali tahu cerita kalau Hesty lagi-lagi bandel mandi di sungai ciliwung bersama Tigor--jaman itu aliran air Ciliwung masih sedikit manusiawi. Atau ketahuan main layang-layang jauh sekali di lapangan banteng. Berjalan kaki pulang sekolah (padahal ada jemputan). Melempari pohon mangga di perempatan Senen. Tapi saat itu, tentu saja Papa Hesty hanya marah atas kenakalan Tigor dan Hesty. Mereka masih anak-anak.

Bibi dan Mamang setiap malam mengingatkan Tigor soal "nona muda" jangan diajak main yg aneh-aneh. Tigor selalu menurut, mengangguk. Tapi mau bagaimana? Nona muda Hesty sendiri yang justru sambil nyengir berteriak di luar kamar sempit itu. "Tigoorrr! Main yuk!" mengajak Tigor bersepeda sepanjang hari, lantas melakukan hal-hal seru di kampung-kampung Jakarta--blusukan. Sepanjang sejarah kanak-kanak mereka, hanya dua kali Papa Tigor benar-benar marah soal kebersamaan mereka; pertama ketika Hesty dan Tigor pulang kemalaman bersepeda (sebenarnya mereka sering kemalaman); tapi kali ini beda, itu persis tanggal 30 september saat umur mereka 6 tahun. Hesty imut-nya cuma menyahut seruan ayah-nya dgn: "Pa, aman2 saja kok, Hesty tadi malah lihat banyak tank, ya kan Tigor?" Papa semakin marah, "Aduh, kita nggak kenapa-napa kok, Pa. Tentara itu mau perang ya, Pa?" Hesty dihukum tidak boleh keluar selama tiga hari. Sedangkan di kamar sempit, Tigor dihukum Bibi (ibu Tigor) tidur di kursi luar selama seminggu, bersama nyamuk, kena tampias hujan. Itu hukuman yang boleh jadi masuk akal, karena Jakarta sedang genting-gentingnya karena pemberontakan PKI, mereka berdua malah asyik beranjangsana.

Kali kedua, dan ini juga fatal sekali; saat Hesty dan Tigor mencuri-curi peralatan kamera Papa-nya. Lantas menggunakannya utk foto-foto. Itu barang langka tahun 60-an; hadiah istimewa dr duta besar Inggris. Kamera itu rusak. Maka malam itu Hesty dijewer Papa-nya. Tigor? Ditampar Mamang (bapaknya), "Kau membuat nona muda menangis, hah. Kau pikir kau bisa seenak perut masuk-masuk ke kamar Tuan?". Belum lagi hukuman tambahan, bukan sekadar tidur di kursi, Bibi kali ini menyuruh Tigor berdiri di halaman rumah hingga shubuh. Malam itu hujan turun deras. Hesty menangis, mengintip dari teras lantai dua, menatap Tigor yg menggigil kedinginan di halaman bersimbah hujan. Hesty sejak tadi sungguh hendak menyerahkan payung; Papa-nya mendelik marah, mengunci pintu kamar. Menyisakan isak gadis kecil berambut ikal itu. Itu semua idenya, bukan salah Tigor.

Lepas beberapa hari (tujuh hari) dari insiden kamera tersebut, Papa Hesty mendapat tugas menjadi pimpinan di Surabaya. Berangkatlah seluruh keluarga itu ke sana. Rumah besar di Menteng hanya menyisakan tiga orang: Bibi, Mamang dan Tigor. Sisa-sisa kemarahan soal kamera itu jelas masih ada; jadi Tigor hanya bisa takut-takut melambaikan tangan saat mobil pergi mengantar keluarga itu ke Stasiun Kota. Tapi bukan Tigor dan Hesty namanya jika mereka mengalah begitu saja. Tigor bergegas dgn sepedanya menuju Stasiun Manggarai, sengaja menunggui kereta itu lewat di sana. Dia kali dia tertipu, salah. Kereta ke-3 dia benar; kepala Hesty melongok dari jendela gerbong, melambai2kan tangan. Meski tdk janjian (mereka saja bahkan dilarang bicara satu sama lain selama seminggu terakhir), tentu saja Hesty tahu, mereka sering bersepeda ke sini; lantas pura-pura melambaikan tangan ke kereta-kereta yg lewat, tertawa-tawasoal di sana ada Hesty yg pergi entah kemana.. kali ini benar2 terjadi; dan kedekatan itu membuat Hesty yakin Tigor akan berdiri di sana. Hesty yakin sekali. Maka setengah mengharukan setengah lucu melihat mereka dada-dada-an.. Kepala Hesty keluar dari jendela gerbong, Tigor berlarian melambai. Kereta terus melaju. Kali ini Papa Hesty tdk tahu hendak bilang apa lagi, mukanya cuma menggelembung merah.

Dan waktu berlalu dgn cepat...

Seperti cepatnya pembangunan yg merubah wajah kota Jakarta... Ali Sadikin menyulap jalanan Thamrin, kampung raksasa itu berubah jd metropolitan. Lantas apa kabar Hesty-Tigor? Duhai, apalah artinya Jakarta-Surabaya? jarak tidak mampu menaklukkan kedekatan. Mereka menemukan cara baru utk terus berhubungan. Surat-menyurat.... Menurut cerita Hesty, selama 14 tahun Papa-nya bertugas di Surabaya, dia mengirimkan 251 surat buat Tigor. Dan menerima 234 surat balasan. Kenapa balasan Tigor lbh sedikit? Aduh, urusan ini menyebalkan sekali memang.. di awal2, surat balasan Tigor terlanjur kena black-list Papa Hesty. Langsung dibakar di perapian rumah saat tiba. Hingga Hesty tahu soal itu, dan meminta Tigor mengirimkan surat ke alamat temannya. Beres! Masalah itu teratasi... Isi surat2 itu sebenarnya tidaklah berbeda satu sama lain, hanya tentang: apa saja yang kamu lakukan seminggu terakhir, bercerita seru hal-hal konyol yg dilakukan, ide-ide konyol jika mereka bertemu lagi, dan selalu ditutup dgn kalimat: "tidak seru nggak ada Hesty di sini" (atau "tidak seru nggak ada Tigor di sini", kalau Hesty yg menulis suratnya);

Empat belas tahun berlalu, hingga akhirnya hari yg terjanjikan itu tiba... Kesabaran selalu menaklukkan apapun.

Papa Hesty mendapatkan penempatan baru di Jakarta. Kalian tahu sebagai apa? Menteri. Mereka tidak kembali ke Menteng, keluarga besar Hesty tinggal di kebayoran lama, Papa-nya sudah berumur 60tahun. Hesty sudah dua tahun kuliah di Surabaya, saat pindah ke Jakarta, ia juga pindah kuliah ke UI Salemba. Apa kabar Tigor? Dia tetap tinggal di rumah Menteng, yg sejak dulu disewakan ke ekspatriat, keluarga bule-blue yang bekerja di Jakarta. Sedangkan Bibi dan Mamang juga tetap tinggal di sana, jd pembantu keluarga yang menyewa rumah.

__________________
I am ME

(^_^)
I am ME is offline  
Reply With Quote